Sebenarnya arti Kinerja menurut Oxford Dictionary merupakan suatu tindakan proses atau cara bertindak atau melakukan fungsi organisasi. Sedangkan Robbins, mengatakan bahwa kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A) motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu Kinerja = f (A x M x O), artinya kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan. Lain pula Kinerja menurut The Scriber-Bantam English Dictionary berasal dari kata...."to perform" dengan beberapa entries yaitu : (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry of a execute), (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfil as wow), (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an understaking), (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine).
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, maka kesimpulan pengertian atau definisi kinerja atau performance dapat disimpulkan sebagai berikut: hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sesuai dengan kewenangan dan tugas tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat pula disimpulkan beberapa aspek yang mendasar dan paling pokok dari pengukuran kinerja sebagai berikut:
1. Menetapkan tujuan, sasaran dan strategi organisasi, dengan menetapkan secara umum apa yang diinginkan oleh organisasi sesuai dengan tujuan, visi dan misinya.
2. Merumuskan indikator kinerja dan ukuran kinerja, yang mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung, sedangkan indikator kinerja mengacu pada pengukuran kinerja secara langsung yang berbentuk keberhasilan utama (critical succes factors) dan indikator kinerja kunci (key performance indicator).
3. Mengukur tingkat capaian tujuan dan sasaran organisasi, menganalisis hasil pengukuran kinerja yang dapat diimplementasikan dengan membandingkan tingkat capaian tujuan, dan sasaran organisasi.
4. Mengevaluasi kinerja dengan menilai kemajuan organisasi dan pengambilan keputusan yang berkualitas, memberikan gambaran atau hasil kepada organisasi seberapa besar tingkat keberhasilan tersebut dan mengevaluasi langkah apa yang diambil organisasi selanjutnya.
Bahwa keberhasilan suatu organisasi dengan berbagai ragam kinerja tergantung kepada kinerja seluruh anggota organisasi itu sendiri. Unsur individu manusialah yang memegang peranan paling penting dan sangat menentukan keberhasilan organisasi tersebut.
Dalam suatu organisasi dikenal ada tiga jenis kinerja yang dapat dibedakan menjadi sebagai berikut:
1. Kinerja operasional (operation performance), kinerja ini berkaitan dengan efektivitas penggunaan setiap sumber daya yang digunakan oleh perusahaan seperti modal, bahan baku, teknologi, dan lain-lain. Sejauh mana penggunaan tersebut secara maksimal untuk mencapai keuntungan atau mencapai visi dan misinya.
2. Kinerja administratif (administrative performance), kinerja ini berkaitan dengan kinerja administrasi organisasi. Termasuk di dalamnya struktur administratif yang mengatur hubungan otoritas wewenang dan tanggung jawab dari orang yang menduduki jabatan. Selain itu, berkaitan dengan kinerja mekanisme aliran informasi antarunit kerja dalam organisasi.
3. Kinerja stratejik (strategic performance), kinerja ini berkaitan atas kinerja organisasi dievaluasi ketepatan organisasi dalam memilih lingkungannya dan kemampuan adaptasi organisasi khususnya secara strategi organisasi dalam menjalankan visi dan misinya.
Hambatan Sistem Pengukuran Kinerja
Sistem pengukuran kinerja terhadap karyawan belum tentu hasilnya efektif untuk meningkatkan kinerja mereka, karena hal ini ada beberapa hambatan dan penyebab dalam penilaian kinerja tersebut, adapun hambatan dan penyebabnya adalah sebagai berikut:1. Tidak memenuhi syarat kinerja yang baik, sistem evaluasi tersebut tidak mendorong para manajer untuk memberikan ukuran-ukuran yang terarah untuk memudahkan pembahasan hubungan dengan jabatan terbuka antara penyelia dan karyawan.
2. Tidak diterapkan sistem evaluasi kinerja dengan baik, sistem ini terjadi apabila sistem evaluasi kinerja yang tidak relevan dengan penetapan evaluasi dengan pendekatan yang tidak mendorong kinerja menjadi lebih baik karena bersifat ambisius dan subjektif.
3. Tidak dikomuikasikan dengan baik, organisasi merupakan suatu sistem dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan kinerja karyawan lebih merupakan suatu fungsi dari faktor-faktor lingkungan daripada memotivasinya sendiri. Oleh karena itu, bila penilaian kinerja tidak dapat mengantisipasi konsekuensinya, karyawan akan terlihat lebih buruk. Untuk menciptakan evaluasi yang efektif, maka diusulkan untuk melakukan satu pendekatan berdasarkan keberhasilan kinerja.
4. Tidak cocok atau tidak tepat dengan organisasi yang bersangkutan, hal ini terjadi apabila sistem telah dilaksanakan tidak sesuai atas pendekatan evaluasi terhadap kinerja setiap karyawan dengan perkembangan organisasi yang memberikan karakter atau sifat penilaian yang terfokus pada pribadi individu dan bukan pada kinerja.
5. Tidak dilakukan oleh seluruh SDM, hal ini terjadi apabila SDM yang bersangkutan tidak menguasai pendekatan sistem atas berbagai teknik evaluasi yang tidak didukung secara keseluruhan dan tidak terkait dengan semua tahap pengembangan terhadap evaluasi kinerja karyawan.
6. Tidak dipantau dengan baik, sistem yang tidak terpantau (terabaikan) atas evaluasi kinerja cenderung terfokus hanya pada hasil tanpa pemilihan atas konsep evaluasi yang terbaik dan sesuai dengan kultur dan struktur organisasi pada perusahaan / pemerintahan.
Model Sistem Pengukuran Kinerja
Ada beberapa contoh model yang perlu dipertimbangkan untuk dipilih dalam merancang sistem pengukuran kinerja pada organisasi profit maupun nonprofit, yaitu:1. Balance Scorecard Model dari Harvard Business School oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton, pada model ini menggunakan empat perspektif dengan titik awal strategi sebagai dasar perancangannya.
2. Integrated Performance, Measurement Sistem (IPMS) Model dari Centre for Strategic Manufacturing, University of Strathdyde Glasgow oleh Bititci et al. pada model sistem pengukuran kinerja ini dengan titik awal (starting point dari stakeholder) sebagai landasan menentukan Key Performance Indicator-nya atau KPI.
3. Cambridge Model dari Cambridge University oleh Neely, pada model ini dititikberatkan menggunakan product group sebagai dasar untuk mengidentifikasi Key Performance Indicator-nya atau KPI
4. Human Resource Scorecard atau disebut HR Scorecard Model oleh Brian E. Becker dan Dave Ulrich dari Harvard Business School, pada model ini mencoba memperjelas peran sumber daya manusia secara detail sebagai sesuatu yang selama ini dianggap masih intangible (tidak berwujud) untuk diukur peranannya sejauh mana terhadap pencapaian visi, misi, dan strategi perusahaan / organisasi / pemerintah.
5. Performance PRISM adalah hasil kolaborasi antara Chris Adams dan Andy Nelly dari centre for business performance pada cranfield school of management United Kingdom. Model ini dibuat dengan mencoba melakukan penyempurnaan-penyempurnaan terhadap metode sebelumnya, yaitu model pengukuran kinerja yang mencoba memadukan antara kerangka kerja pengukuran yang berorientasi strategi dengan metodologi pengukuran yang memperhatikan kepentingan stakeholder. Padahal selama ini keduanya bertentangan satu dengan yang lainnya, pengukuran dilakukan dengan berupaya mengidentifikasi strategi, proses, dan kapabilitas yang dimiliki perusahaan. Sedangkan pendekatan metodologi dilakukan dengan mengidentifikasi apa yang menyebabkan stakeholder puas dan apa kontribusi dari stakeholder yang mempengaruhi tersebut.
6. Pengukuran Kinerja Supply Chain adalah merupakan sistem pengukuran kinerja yang bertujuan untuk membantu memonitoring jalannya aplikasi Supply Chain Management (SCM) agar berjalan dengan baik. Oleh karena itu, indikator kinerja yang digunakan lebih bersifat spesifik dan relatif berbeda dengan sistem pengukuran kinerja organisasi. Sistem ini lebih bersifat integratif dengan area kerja yang meliputi pemasok, pabrik dan distributor yang bertujuan mencapai keberhasilan implementasi supply chain. Dalam dunia bisnis SCM diidentikkan dengan istilah logistic dan operation management yaitu menyangkut beberapa proses di perusahaan; material, fasilitas produksi, proses sourcing, making, maupun delivering.
7. Analytical Hierarchy Process (AHP), dikenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1980, metode ini digunakan untuk mendapatkan bobot kinerja berdasarkan bagaimana preferensi dari pengambilan keputusan (direksi dan manajer) terhadap tingkat kepentingan dari masing-masing perspektif kelompok metric dan KPI. Hasil pembobotan dengan metode AHP akan berupa bobot kinerja pada perspektif tersebut, dan hasilnya disebut struktur hierarki pengukuran kinerja berbobot.
Keterangan :
Tulisan ini disadur dari buku pengukuran kinerja berbasis kompetensi buahkarya Prof. Dr. Moeheriono, M.si, 2012
No comments :
Post a Comment